Wednesday, November 5, 2008

Catatan Putu Wijaya FESTAMASIO IV 2009

FESTAMASIO IV 2009

Membaca naskah dan menonton VCD peserta Festmasio IV bagi saya adalah sebuah kesempatan melihat, bagaimana peta teater di kampus dewasa ini. Sudah lama saya merasa bahwa ada sesuatu yang perlu dirembug dalam kehidupan teater di kampus.

Dalam sebuah pertemuan teater kampus di Solo beberapa tahun yang lalu, saya merayakan agar teater kampus, tidak hanya menjadi “permainan” anak kampus yang sibuk dengan persoalan kampus saja, tetapi kehidupan teater yang bebas. Saya menulis kredo untuk teater kampus. Jangan sampai teater kampus merasa leluasa membuat kesalahan dan pertunjukan yang di bawah kualitas, dengan alasan bahwa teater bagi mereka hanya sekedar selingan / hobi di samping kesibukan akademinya.

Sebagai gudang pengetahuan dan pusat pengodokan intelektual muda, kampus lewat teater seharusnya memberi lampu terang pada kehidupan teater Indonesia. Harus menjadi pelopor, sebagaimana yang terjadi juga di beberapa kampus mancanegara. Teater kampus ditonton dengan penuh penghormatan dari masyarakat, bahwa sering memberikan langkah besar dan inovasi.

Antara lakon dan pementasan, walau sangat berhubungan, tetapi merupakan hal yang terpisah. Festamasio menilai naskah –naskah yang dibuat oleh para mahasiswa secara terpisah. Penilaian terhadap VCD pementasannya tidak berhubungan dengan nilai naskahnya.

Di dalam VCD yang dinilai adalah kelayakannya untuk dipentaskan secara langsung di dalam Festamasio dengan dihadiri oleh juri – juri pementasan. Panitia nampaknya sudah menyadari hal tersebut, sehingga memberikan saran agar VCD pementasan dibuat dengan kamera yang statis. Tetapi prakteknya, VCD yang saya tonton sudah menyertakan angle dan juga gerakan kamera, sehingga ada kemungkinan VCD dan praktek pementasannya akan banyak berbeda.

Namun demikian, saya berhasil untuk memilih 10 kelompok yang saya anggap pantas diberikan kesempatan manggung langsung. Mereka itu adalah ( berikut bukan urutan kualitas) :
1. Terater Kuru Setra
2. Teater Kampus UNHAS
3. Teater Ghanta
4. Teater Hijau
5. Staimdatokrama Palu
6. Teater Lakon
7. Teater Talas
8. Teater Tesa
9. Fak. Psikologi UGM
10. Teater Margin

Kemudian saya juga memilih 11 kelompok lain, siap – siap bila panitia menghendaki jumlah lebih banyak. Mereka adalah :
1. Teater Poenel
2. Teater Sopo
3. Teater Nol
4. Teater Rumah Teduh
5. Teater Eska UIN Yogyakarta
6. Teater Arca Univ. Muh. Malang,
7. UIN Sunan Kalijaga
8. Univ Tadukalo Palu
9. Univ. Negeri Makassar
10. Teater Amoeba
11. Teater UNLAM

Kesan saya selama menyaksikan VCD tersebut adalah : besarnya pengaruh tetater tradisi pada persembahan masing – masing teater. Unsur – unsur visual dalam semua VCD sangat menonjol, lebih dari unsur verbalnya. Bagi saya ini hal yang positif. Musik, tari ditampilkan kadangkala lebih besar porsinya dari seni akting. Ini adalah ciri – ciri tontonan. Kekuatan teater tradisi kita memang bukan pada realisme tetapi pada situasi. Kalau ini disadari dan dikembangkan secara terarah, benar – benar akan menjadi kekuatan dan keunikan. Tetapi kalau ditanggapi keliru, apalagi kalau tetar dipetakan kepada teater barat, akan terjadi konflimyang tridak hanya membingungkan tetapi menyesatkan sehingga perkembangan teater di kampus akan selalu gagap. Penyutradaraan, penata adegan dan set, seni laku antara teater yang realis dan teater tontonan berbeda.

Pertama, mengacu pada teori – teori realisme yang memang sudah berkembang pada teater Barat. Kedua, pada upacara bersama dimana tidak batas lagi antara penonton dan tontona. Ketiga, juga dipelajari dengan sungguh – sungguh oleh para dramawan Barat, tetapi yang kemudian lebih diarahkan kepada eksperimentasi sehigga terpisah dalam kenyataan kehidupan kita. Ini memerlukan pemahaman yang jernih, kalau tidak, kita akan mempelajari jati diri kita lewat cermin barat. Hasilnya adalah kegagapan. Teater tradisi yang asli bagus, tetapi ketika kita mencoba menempel – nempelkannya, akan terjadi sesuatu kosong, kehilangan jiwa.

Aspek penulisan lakon dalam Festamasio IV rawan. Kebanyakan naskah tidak ditulis oleh orang yang trampil dan menguasai media teater. Titik pusat jadi hanyta orang yang terampil dan mengusai teater. Titik pusat jadi hanya pada cerita. Tetapi cerita pun tidak menarik karena tidak ada ide yang segar, unik, dan orisinal. Itu terjadi karena nampaknya naskah tidak ditulis oleh pengarang, tetapi oleh orang lapangan yang punya kebutuhan mendesak pada adanya naskah. Aspek penyutradaraan juga menunjukkan kelemahan. Sebuah naskah yang buruk, ditangan sutradara yang baik, bisa menjadi menarik. Dan sebaliknya naskah yang punya kemungkinan bagus bila dioles dengan tanpa keterampilan akan jadi tontonan yang gagal.

Pementasan langsung dari teater yang terpilih saya yakin akan lebih baik dari VCD yang sudah saya tonton. Namun demikian semoga komentar ini dapat dijadikan bahan diskusi dalam lokakarya.


Jakarta, 20 Oktober 2008
Putu Wijaya

0 comments:

 
© Copyright by FESTAMASIO  |  Template by Blogspot tutorial